Kamis, 31 Desember 2009

Pendidikan Alternatif pelajar putri



Bidang ipmawati hadir dari kebutuhan kita bersama untuk menggapai keadilan dan kesetaraan dalam tubuh ikatan pelajar muhammadiyah, pendidikan alternatif pelajar putri yang berlangsung dari tanggal 29 sampai tanggal 31 desember 2009 di wonosobo yang diadakan oleh pimpinan wilayah ikatan pelajar muhammadiyah jawa tengah.

Pendidikan alternatif ini mempunyai tujuan untuk memetakankan persoalan kader perempuan dan merumuskan isu strategis yang ingin di capai oleh PW IPM jawa tengah khususnya bidang ipmawati, selama proses pendidikan berlangsung banyak perdebatan intelektual yang terjadi menggambarkan kedinamisan berfikir kader ipmawati semakin berkembang melaju dengan pekembangan zaman.

Ada hal yang penting dalam memahami keadilan gender bukanlah pergantian peran namun adanya nilai-nilai yang sama yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, menghilangkan kebiasaan mengusai dan dikuasai tapi lebih menekankan adanya kesamaan dan kebersamaan untuk memahai nilai-nilai yang ada dalam ikatan pelajar muhammadiyah.

Rabu, 23 Desember 2009

Membicarakan Laki-Laki Baru



Gadis Arivia, pendiri Jurnal Perempuan, memberikan apresiasi kepada dua laki-laki yang duduk di sampingnya. Yang pertama adalah Nur Achmad, dari organisasi perempuan Rahima. Dan yang kedua adalah Eko Bambang Subiyantoro, kontributor dan sahabat Jurnal Perempuan. Gadis menyebut mereka sebagai “laki-laki baru”. Yang dimaksud laki-laki baru adalah laki-laki feminis; laki-laki yang memperjuangkan kesetaraan gender. Hal ini dinyatakan pada acara peluncuran Jurnal Perempuan Edisi 64 berjudul “Saatnya Bicara Soal Laki-Laki”.

Nur dan Eko, merupakan dua dari beberapa orang yang berkontribusi di Jurnal Perempuan Edisi 64. Sebagaimana yang ditulis dalam jurnal, mereka memaparkan alasan dan tujuan mereka menjadi laki-laki feminis.

Bagi Nur, perempuan merupakan saudara kandung laki-laki. Sayang, masyarakat pada umumnya memisahkan permasalahan perempuan dan laki-laki secara masing-masing, tidak bekerjasama. Sehingga, ketidakadilan yang lebih banyak dialami perempuan, terjadi. Nur yang terlibat dalam organisasi berbasis agama Islam, menilai bahwa agama dengan dalil dan teks yang disalahgunakan berperan besar terhadap kenyataan itu. Padahal jika Islam dipahami secara esensi, bukan “kulitnya”, Islam sangat menghormati perempuan, dan mendukung kesetaraan.

Sedangkan Eko lebih menekankan internal dirinya dan laki-laki secara umum yang tak lepas dari stereotip masyarakat. Di masyarakat laki-laki adalah makhluk yang kuat berotot, rasional, tak boleh nangis, pemimpin, bekerja mencari nafkah dan tak boleh melakukan perawatan tubuh. Stereotip itu telah menjauhkan laki-laki dari kemanusiaan. Yang utama, laki-laki cenderung menggunakan cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah.

Pemaparan Nur dan Eko menarik sejumlah peserta yang hadir. Di antaranya Ahmad Sarkawi dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Ia gelisah terhadap minimnya gerakan gender pada generasi muda, khususnya pelajar, di level akar rumput. Gerakan gender masih elitis, sehingga kalah dengan proses kaderasi “Tentara Allah” di sekolah-sekolah daerah. Menurut kedua pembicara, sebetulnya gerakan di akar rumput sudah dilakukan, hanya saja kurangnya keterlibatan aktivis di daerah membuat perjuangan kesetaraan tak luas terasa.

Acara semakin menarik, karena menyertai pembacaan puisi secara nyentrik oleh budayawan, Hudan Hidayat. “Selamat menjadi laki-laki baru. Kami, perempuan, mendukung dan mendoakan perjuangan kalian,” ucap Gadis menutup diskusi.

sumber : Usep Hasan Sadikin http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/membicarakan_laki_laki_baru/

Jumat, 11 Desember 2009

kader Perempuan pasca KONPIWIL

oleh : ketua Bidang Ipmawati
pasca konpiwil Ikatan pelajar muhammadiyah, yang berlangsung di mataram pada tanggal dua sampai enam desember dua ribu sembilan. banyak catatan menjadi kita semua proses dari pembelajaran yang kita lewati dari arena konpiwil, ketua bidang Ipmawati berjenis kelamin laki-laki menjadi polemik. namun tidak ada alasan yang rasional hanya karena alasan kebiasaan kemudian kita mengorbankan rasionalitas kita, kedinamisan berfikir tidak menjadi ruh dalam pergerakan.

gerakan kritis transformatif yang kita dengungkan sudah beberapa kali dalam dekade sejarah terlewat begitu saja tidak pernah menjadi reffrensi kita berfikir. ada tiga hal yang haru di miliki bagi seorang kader dalam konsep gerakan kritis transformatif
1. seoarang kader harus respon dan peka terhadap realitas sosial di sekelilingnya
2. seoarang kader harus peduli terhadap persoalan-persoalan sosial khususnya persoalaan pelajar.
3. seorang kader harus melakukan aksi nyata dalam merespon dan sebagai bentuk dari kepedulian terhadap realitas sosial.

ketiga hal tersebut harus kita pahami sehingga itu menjadi paradigma kader kita semua, banyak persoalan sosial yang ada di sekeliling kita tak pernah kita tahu karena kita tidak memahami GKT sehingga membuat kita tidak respon, peka dan peduli apalagi untuk melakukan aksi nyata. sebuah refleksi kita bersama sebagai organisasi pelajar yang mengakunya sebuah gerakan kritis transformatif, masih banyak orang di sekitar kita yang belum bisa membaca, masih banyak di sekeliling kita orang yang mengalami ketidakadilan dan ketidak setaraan. Ikatan pelajar Muhammadiyah dalam sebuah refleksi...........

Pengarus utamaan gender itu adalah sebuah solusi dalam memecah kebisuan untuk menggapai keadilan dan kesetaraan untuk perempuan, kita ketahui bersama bahwa keterlibatan kader perempuan di ikatan pelajar muhammadiyah masih sangat lemah, kader perempuan jarang sekali di posisi strategis. secara kuantitas kader perempuan di Ikatan pelajar muhammadiyah luar biasa tapi secara kualitas kader perempuan masih termarginalkan. arena konpiwil membuktikan keterlibatan kader perempuan di arena forum konpiwil