Senin, 16 November 2009

Artikel Bidang Ipmawati memahami gender dalam islam

Memahami Relasi Gender dalam Islam*

Sejumlah kajian mengenai gender dalam Islam menyimpulkan bahwa untuk memahami ajaran Islam tentang relasi gender harus dimulai dari pemahaman tentang tauhid. Artinya, konsep Islam tentang relasi gender berangkat dari konsep tauhid. Tauhid merupakan inti ajaran Islam. Tauhid mengajarkan kepada manusia bagaimana berketuhanan yang benar selanjutnya menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan yang benar. Islam adalah agama yang menyeimbangkan hubungan vertical manusia dengan tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya yang sering diungkapkan dengan terminology hablun minallah wa hablun minannas.

Aspek vertical merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada tuhan, sementara aspek horizontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, aspek horizontal ini tidak terealisasikan dengan baik dalam kehidupan manusia, khususnya dalam interaksi dalam sesamanya. Akibatnya dimensi kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek horizontal Islam kurang mendapat perhatian dikalangan umat Islam. Kondisi ini menyebabkan penampilan wajah Islam terlihat sangar dan tidak humanis dalam kehidupan publik. Semua bentuk hubungan baik manusia dengan tuhan atau ibadah kepada tuhan hanya bermakna apabila memberikan kemanfaatan terhadap sesama manusia, bahkan juga sesama mahkluk. Jadi, ukuran bermaknanya suatu ibadah paling tidak adalah sejauh mana memberikan maanfaat bagi kemanusiaan.

Berkaitan dengan tauhid, ada baiknya dikemukakan pandangan Fazlur Rahman bahwa ajaran Al-quran yang paling mendasar adalah doktrin tauhid (monoteisme). Tanpa memahami ajaran dasar ini manusia tidak akan pernah berlaku adil kepada Al-quran dan Islam. Pemahaman tauhid memiliki nilai fungsional yang praktis dalam pembentukan moralitas bagi sikap dan tindakan umat manusia.

Tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sejak awal sudah terkait dengan humanisme dan rasa keadilan. Karena itu, tauhid hanya akan bermakna di mata Al-quran jika ia menghasilkan konsekuensi moral mengenai kesamaan umat manusia. Untuk itu, perlu transformasi interpretasi agama dan teologi penindasan menuju teologi pembebasan sejati. Secara religius, proses pembebasan kaum perempuan dari struktur penindasan dan kekerasan jelas bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi harus segera dilakukan.
Tauhid atau paham kemahaesaan tuhan mengajarkan bahwa tiada Tuhan Selain Allah dan hanya Allah pencipta alam semesta. Seluruh manusia, bahkan seluruh mahkluk hidup yang ada berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah SWT. Prinsip tauhid mengajarkan bahwa semua manusia adalah mahkluk ciptaan Allah Swt karena itu, semua manusia sama kedudukannya di hadapan Allah Swt. Dengan demikian, ajaran tauhid membawa kepada ajaran persamaan antarmanusia, kalau manusia semua itu sama, sudah tentu perempuan dan laki-laki pun sama. Satu-satunya unsur yang membawa perbedaan atau yang memungkinkan seseoarang manusia lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya dari manusia lainnya adalah nilai pengabdian dan prestasi taqwanya kepada Allah Swt (Al-Hujarat, [49]: 13). Dan berbicara tentang taqwa hanya Allah yang berhak memberikan penilaian, manusia tidak bisa intervensi sedikitpun.

Lalu apa yang dimaksud dengan gender? Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang di pakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Berbeda dengan sex (jenis kelamin) yang membedakan laki-laki dan perempuan dari segi biologis, gender membedakan laki-laki dan perempuan dari segi non-biologis yaitu dari segi peran-peran social yang dimainkan oelh keduanya. Yang pertama bersifat kodrati dalam diri manusia, sedangkan yang kedua merupakan konstruksi social. Dengan ungkapan lain, gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.

Berbicara tentang konsep gender dalam Islam ditemukan sejumlah ayat Al-quran, antara lain Al-Hujarat, [49]: 13, Al-Nisa’ [4]: 1, Al-A’araf, [7]: 189, Al_Zumar [39]: 6, Fatir [35]: 11, dan Al-Mu’min, [40]: 67 menegaskan bahwa dari segi hakekat penciptaan, antara manusia yang satu dengan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak perlu semacam superioritas suatu golongan, suku, bangsa, ras, atau suatu entitas gender terhadap lainnya. Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa Al-quran menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki. Senada dengan Al-qur’an, sejumlah hadis Nabi pun menyatakan bahwa sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki. Dengan demikian, pada hakikatnya manusia itu adalah sama derajatnya, mereka bersaudara dan satu keluarga.

Meskipun scara biologis keduanya: laki-laki dan perempuan berbeda sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-quran, namun perbedaan jasmaniah itu tidak sepatutnya di jadikan alasan untuk berlaku diskriminatif terhadap perempuan. Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk mendiskreditkan perempuan dan mengistimewakan laki-laki. Perbedaan biologis jangan menjadi pijakan untuk menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan laki-laki pada posisi superordinat. Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan dengan bekal perbedaan itu keduanya di harapkan dapat saling membantu, saling mengasihi dan saling melengkapi satu sama lain. Karena itu, keduanya harus bekerja sama, sehingga terwujud masyarakat yang damai menuju kepada kehidupan abadi di akhirat nanti.

Islam secara tegas menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni dalam posisi sebagai manusia, ciptaan sekaligus hamba Allah swt. Dari perspektif penciptaan, Islam mengajarkan bahwa asal penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sama, yakni sama-sama dari tanah (saripati tanah), sehingga sangat tidak beralasan memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Pernyataan ini misalnya terdapat dalam Al-quran Al-Mukminun [23]: 12-16, Al-Hajj [22]: 5, dan shad [38]: 71. Dari perspektif amal perbuatan, keduanya di janjikan akan mendapatkan pahala apabila mengerjakan perbuatan yang makruf dan di ancam dengan siksaan jika berbuat yang mungkar (Al-Nisa’ [4]: 25, Al-Nahl [16]: 97, Al-Maidah [5]: 38, Al-Nur : 2, Al-Ahzab [33]: 35-36, Al-An’am [6]: 94, Al-Jatsiyah [45]: 21-22, Yunus [10]: 44, Al-Baqarah [2]: 48, dan Ali Imran [3]: 195. Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan kewajiban untuk ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga di akui memiliki hak dan kewajiban untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan taqwa, serta kewajiban untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam islam di sebut amar ma’ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil, damai dan sejahtera (baldatun thayyibah warabun ghafur).

Akan tetapi, dalam realitas sosiologis di masyarakat, perempuan seringkali diperlakukan tidak setara dengan laki-laki. Kondisi yang timpang ini muncul karena masyarakat sudah terlalu lama terkungkung oleh nilai-nilai patriakhi dan nilai-nilai bias gender dalam melihat relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai patriakhi selalu menurut pengakuan masyarakat atas kekuasaan dan segala sesuatu yang berciri laki-laki. Dalam pandangan patriakhi, laki-laki dan perempuan adalah dua jenis mahkluk yang berbeda sehingga keduanya perlu dibuat segregasi ruang ketat; laki-laki menempati ruang publik, sedangkan perempuan di ruang domestik. Posisi perempuan hanyalah merupakan subordinat dari laki-laki.

Karena itu, perlu sekali memberikan wawasan baru yang lebih humanis dan lebih senstitif gender kepada para pemuka agama, laki-laki dan perempuan, sehingga pada gilirannya nanti terbangun kesadaran dikalangan mereka akan perlunya reinterpretasi ajaran agama, khususnya ajaran yang berbicara tentang relasi gender. Tidak ada jalan lain keluar dari kondisi demikian selain melakukan pembongkaran (dekonstruksi) atas seluruh panafsiran agama yang memposisikan perempuan sebagai objek. Selanjutnya, akan terbangun penafsiran yang menenmpatkan perempuan sebagai manusia yang utuh, sebagai subjek yang otonom yang memiliki kebebasan memilih (freedom of choice) atas dasar hak-haknya yang sama dengan laki-laki.


*Ahmad Sarkawi : Sekretaris Bidang Ipmawati PP IPM
Sumber :
1. Modul Pendidikan Adil Gender Untuk Perempuan Marginal. Lily Pulu, dkk. KAPAL PEREMPUAN. 2006
2. Islam Menggugat Poligami. Siti Musdah Mulai. Gramedia Pustaka Utama. 2004
3. Wacana Fiqh Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah. Majelis Tarjih & Pengembangan Pemikiran Islam dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta. 2005
4. Modul Pelatihan Advokasi anggaran berbasis kinerja Resposif Gender. Eva K. sundari Dkk. PATTIRO. 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar